MINIARTIKEL.COM, MALANG – Dalam proses masak-memasak, mulai zaman Belanda hingga saat ini masih banyak yang menggunakan cobek sebagai alat untuk mencampur berbagai bahan masakan. Cobek dan ulekan dalam bahasa inggris di sebut mortar dan pestle, sedangakan dalam bahasa Jawa masyarakat menyebut cobek dan ulekan dengan sebutan coek.
Pengrajin cobek Martono (43), merupakan salah satu pelaku usaha pembuatan cobek yang bertahan hingga saat ini. “Dulu sekitar tahun 1980 saya memperoleh bahan baku dari wilingi, yaitu material dari Gunung Kelud. Untuk saat ini material bahan baku sudah bisa di dapatkan melalui penambang daerah sini,” ujar Martono.

Pada tahun 1980 Dusun Petung, Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang merupakan daerah pengrajin cobek. Hampir 80 persen masyarakatnya menjadi pengrajin cobek, namun untuk saat ini semakin berkurang. Berkurangnya pengrajin cobek tersebut di karenakan masyarakat kebanyakan memasarkan sendiri produk-produk cobek mereka, akhirnya mencari pelanggan tetap menjadi sulit.
Martono menuturkan bahwa beliau untuk saat ini menjual produknya dengan cara bermain segmen pasar, yaitu mencari pelanggan tetap. Tidak hanya membuat produk, namun mengkondisikan pasar. Untuk pemasaran di Jawa produk-produk beliau di kirim ke Surabaya, untuk luar Jawa produk-produk beliau kirim ke Bali dan Papua. Jadi tidak harus menunggu pesanan.
“Kalau orang-orang kebanyakan produknya tidak habis maka di jual murah, itu salah. Kalau kita tidak, pokok yang terpenting bagaimana cara menjaga konsumen dan memuaskan konsumen dengan produk kita. Tergantung harga bbm, kalau bbm naik maka harga produk kita juga akan naik,“ sambungnya lagi.

Masyarakat disini melakukan produksi cobek dengan cara industri rumahan, kendala produksi terdapat di bahan baku. Karena bahan baku untuk saat ini semakin menurun, maka produksi masyarakat juga terhambat. Bahan baku pembuatan cobek berasal dari dalam tanah yang di gali, terdapat kandungan pasir di dalamnya ada batu hitam berpori-pori, itulah yang dipakai untuk bahan baku produksi .
Pemerintah Kabupaten Malang melalui DESPERINDAK telah memberi bantuan kepada Martono dan masyarakat lain dengan 65 alat produksi. Untuk Limbah produksi cobek sendiri tidak ada yang terbuang, limbah tersebut bisa di gunakan untuk cor ataupun pasir bangunan.
“Sekarang yang saya herankan, kenapa para pemuda tidak ada yang mau menjadi pengrajin ini. Padahal saya sejak kelas 3 Sekolah Dasar sudah mulai bekerja, hingga saat saya kuliah S1 biaya semua saya cari sendiri dengan cara bekerja tersebut. Dulu juga pernah Dosen Teknik Universitas Widyagama riset bikin alat tetapi tidak mampu. Akhirnya saya sendiri yang bikin berkat arahan dari DIKTI. Alat untuk penghalus cobek berasal dari limbah industri, jadi orang lain tidak bisa njiplak atau meniru alat kita. Karena kita buat sendiri dengan memanfaatlan limbah industri,” ujar Maryono.

Pada tahun 2005 produksi cobek masih manual hanya mampu menghasilkan 4-10 biji dalam sehari, kalau sekarang sudah bisa menghasilkan 20 biji cobek bahkan lebih dalam sehari. Omset yang di dapat oleh Martono sendiri 3 hingga 5 jutaan dalam sebulan.